Minggu, 10 Oktober 2010

Ceritaku Tentang Dia

Ceritaku tentang Dia

Pada akhirnya, cerita ini mungkin akan dapat ditebak dengan mudah, tetapi tentang bagaimana proses menebak cerita itulah yang mungkin harus disadari, Bagaimana kita memainkan imajinasi kita, karena bagaimana akhirnya dari cerita ini, pembacalah yang akan menentukannya. Aku mungkin terkesan paling benar disini, padahal aku hanyalah sebuah benda mati yang mungkin lebih berpengalaman dalam mendapatkan kisah-kisah sedih yang menyayat hati, walaupun akhir dari kisah tersebut menyenangkan.

Jika anda membaca pada siang hari, siapkanlah sebuah minuman dingin yang segar, lengkap dengan cemilannya, untuk menemani anda di siang hari yang terik. Dan jika anda membacanya pada malam hari, mungkin anda dapat ditemani dengan secangkir kopi, karena anda tidak ingin berhenti membaca sampai cerita ini selesai.

Aku kertas. Aku adalah kumpulan kertas yang ada dalam buku catatan milik seorang perempuan, yang beranjak dewasa. Dia namanya. Ya, Dia. Setiap ada kejadian baru, Dia akan segera menggores tubuhku dengan tinta hitamnya. Pena itu akan menari-nari dan meliukan tubuhnya dengan indah di atasku, bak penari senam yang sedang menghadapi perlombaan.

Dia selalu membawaku pergi kemana pun dia suka. Jika ada sesuatu yang menarik, segera saja aku dikeluarkannya dari tasnya. Ia mencatat poin-poin penting yang nantinya akan dia kembangkan menjadi kalimat-kalimat yang indah. Seperti siang ini.

***

Dengan semangatnya, gadis kecil itu menaiki metromini yang kebetulan sedang berhenti di lampu merah. Sepertinya, kegiatannya hari ini adalah hal yang biasa. Ia terlihat akrab dengan kenek metromini yang kunaiki. Aku hanya duduk memperhatikannya dari kursi belakang. Sesekali aku mengintip, ia sedang berbicara dengan kenek, namun lelaki yang terlihat masih seumuran dengan anak SD itu terlihat mengacuhkannya.

Dari sudut pandangku, ia seperti sedang berbicara dengan semangatnya. Namun, hanya suara berbisik yang dapat kudengar. Wajahnya manis, rambutnya merah, mungkin karena terlalu sering berada di bawah sinar matahari. Kaus dan celana yang ia gunakan sudah bolong dan robek.

Ketika metromini mulai berjalan, ia maju ke depan. Entah apa yang ia katakan. Sesaat sesudah berbicara, ia membagikan amplop berukuran sedang yang sudah dibagi dua olehnya. Kegiatan selanjutnya yang ia lakukan adalah menyanyikan sebuah lagu, kurasa, karena lagi-lagi aku tidak dapat mendengarnya.

Ia menggunakan telapak tangannya sebagai alat musik. Dari ketukannya, sepertinya aku mengenal lagu itu. Lagu milik sebuah band baru yang saat ini sedang naik daun, D’Massive, judulnya adalah jangan menyerah. Aku memperhatikan sekeliling. Sebagian besar penumpang mengacuhkan gadis kecil itu. Aku mengikuti lagu yang ia mainkan dalam hati.

Di akhir perjumpaan kami ia kembali mengambil amplop yang ia bagikan. Aku menyelipkan selembar kertas bergambarkan Pattimura di dalamnya. Aku memberinya senyuman saat ia mengambil amplop yang kuberikan, dan ia membalas senyumanku. Senyuman tulus dan polos yang pernah aku temui.

***

Dia menutup dan memasukan kembali tubuhku ke dalam tasnya ketika gadis kecil itu turun dari metromini. Aku sempat melihat senyuman yang tergambar di wajah gadis itu. Menurut apa yang sudah tertulis, Dia berencana akan bertemu dengan kerabatnya di daerah Jendral Soedirman. Buku catatan elektronik, tempatnya membuat arsip dan pengembangan tulisan-tulisannya dalam tubuhku terserang penyakit keras.

Kerabat yang ia kunjungi ini bukanlah kerabat kandung. Mama Dia adalah seorang dokter di salah satu rumah sakit swasta di daerah Jakarta Pusat. Tante Anna, begitu ia biasa disapa, adalah salah satu pasien Mama Dia. Tante Dia sangat ramah, baik dan menyenangkan. Pemikirannya terbuka. Pembawaan dirinya sangat menyenangkan.

Akan tetapi, ada sebuah sisi lain dari Tante Anna yang mungkin tidak akan disadari oleh kebanyakan orang, termasuk Dia sendiri.

Tut….tut…tut..

“Tante, aku udah di dalam gedung kantor tante nih. Kantor tante lantai berapa ya?” tanya Dia dalam pembicaraan di telepon genggamnya.

“Kamu ke lantai 14 aja ya, tar aku tungguin di depan ruangan” jawabnya.

Dia menuju lantai 14. Disana sudah ada seseorang yang menunggunya.

“Capek ya? Kamu di ruang tamu aja ya, ga enak ada bos aku belom pulang” ujar Tante Anna. “Kamu makan KFC dulu nih, tadi aku beliin sebelum kamu kesini”, lanjutnya.

“Ah tante, kayak apaan aja. Ga usah repot-repot, tapi aku juga ga nolak sih” jawabku dengan senyuman.

Tante Anna adalah kerabat jauh yang paling dekat denganku saat ini. Aku senang bisa berada di sampingnya. Bisa menceritakan segala isi hatiku kepadanya. Walaupun sebenarnya umur kami terpaut jauh. Dia seperti seorang kakak perempuan bagiku.

Dia pernah bercerita padaku mengenai Tante Anna. Cerita ini ia dapat dari Mama, karena mungkin menurut Mama, Dia sudah cukup dewasa untuk mengetahui hal ini.

“Kak, Mama ada pasien Mama yang nanti sore mau ke rumah kita, nanti Kakak ngobrol sama dia. Ditemenin, jangan dicuekin, soalnya kalo adek kan palingan masih malu-malu. Namanya Tante Anna.”

“Iya Mama ku tersayang, apa aku pernah cuekin temen Mama? Tapi kok tumben, kayaknya agak resmi gini”

“Kamu sebagai anak pertama, Mama anggep udah dewasa dan bisa ngerti hal ini. Si Anna itu bukan perempuan dalam artian sebenarnya” Mama memulai ceritanya. “Anna itu anak salah seorang yang termasuk punya jabatan tinggi di Bandung, tapi mungkin emang hasrat dari dalam dirinya dia bukan dalam jenis kelaminnya yang sebenarnya. Pada akhirnya, dia diusir sama orangtuanya. Dia pergi ke susteran Santa Angela di Bandung. Sejak dia diterima dengan baik disana, semuanya berubah menjadi apa yang kamu lihat sekarang. Dia nyaman dengan dirinya yang sekarang. Kita harus support dia, temenin dia, karena kita keluarganya sekarang.”

Aku hanya menganggukan kepala tanda mengerti. Aku sempat membayangkan seperti apa Tante Anna dan bagaimana mungkin ada orang yang tetap dapat bertahan hidup tanpa keluarga mereka di sampingnya.

Ternyata, Tante Anna sangat cantik. Tidak terlihat sedikit pun hormon testosteron dalam dirinya, mungkin memang seharusnya dia adalah seorang wanita. Aku sendiri tidak mempercayai apa yang dilihat mataku. Tapi, mataku tidak mungkin berbohong. Tante Anna memang mempesona.

Pertemuan pertama kami membuatku jatuh cinta dan terlena akan pesona dirinya, padahal aku sendiri adalah perempuan. Sungguh, aku tidak menyangka hal seperti ini akan datang ke dalam hidupku, karena “lelaki cantik”yang biasa ditemukan di Thailand, kini ada di depan mataku.

***

Di suatu senja, aku harus kembali pulang ke rumah. Rumahku terletak di bilangan Pondok Kelapa, Jakarta Timur. 2 jam lamanya perjalanan yang harus ku tempuh, itupun hanya jika tidak mengalami kemacetan di jalan.

Aku memutuskan untuk menggunakan kereta api. Aku kangen dengan kereta apiku. Kereta memiliki banyak cerita yang tidak dapat disingkap dengan lugas. Sejuta cerita kereta.

Tidak heran jika banyak orang yang menggunakan kereta api. Harganya ekonomis dan sesuatu yang tidak penting menjadi penting di dalam kereta. Tanpa kita sadari, sebenarnya kita membutuhkan benda tersebut.

Hal kecil seperti peniti. Dengan 1000 rupiah, kita mendapatkan 12 buah peniti. Tidak penting kelihatannya, tapi manfaat peniti besar sekali. Tanpa peniti, seseorang harus mencari jarum dan benang jahit untuk menjahit kancing bajunya yang lepas. Tanpa peniti, sebuah bros tidak dapat menempel dengan manis di saku jas pengantin pria.

Kisah kasih di kereta pun menarik untuk diungkap. Ada sepasang pengamen yang menurutku mereka berpacaran, sampai sekarang mereka pun masih mengamen bersama. Mereka bisa ditemui di kereta ekonomi jurusan Serpong-Tanah Abang.

Antara Serpong-Tanah Abang pun dapat kita temui juga sebuah keluarga yang seluruh anggota keluarganya adalah tuna netra. Sayangnya, mereka beserta kedua anaknya, hanya menengadahkan tangan mereka dan hidup dalam belas kasihan orang lain.

Ada juga sekelompok pengamen jalanan yang kreatif dan suara mereka patut diacungi jempol. Bahkan menurutku, produser musik sebaiknya harus naik kereta ini untuk mengetahui potensi mereka dan mengajak mereka untuk rekaman.

Cobalah naik kereta, rasakanlah dan bagikanlah ceritanya. Sejuta cerita kereta, tidak akan selesai sampai disini Sejuta cerita kereta akan tetap hidup disini.

***

Dia merupakan seseorang yang senang berpetualang. Mungkin untuk istilah jaman sekarang, kita dapat menyebut Dia sebagai Bolang, Bocah Petualang. Ia senang pergi ke tempat baru, entah kemana, sendirian. Walaupun, dalam hati kecilnya ia takut sekali salah jalan, ia pernah menceritakan hal itu kepadaku.

Tentunya, ada aku yang selalu menemani perjalanan Dia. Seringkali, Dia juga membawa kamera DSLR kesayangannya. Walaupun masih baru menggunakan kamera, Dia sudah pernah menghasilkan uang dari hasil bidikannya. Uang itu ia tabung sebagai modal untuk membeli lensa baru.

Masih banyak lagi kisah Dia yang lain. Dia mungkin hanya menganggapku sebagai tempat sampahnya, tapi aku bangga akan hal itu. Dia unik. Dia menyenangkan. Dia kreatif. Dia tidak pernah bisa berhenti menulis. Dia senang sekali merangkai kata-kata. Dia, Dia dan Dia, hanya Dia.

Sabtu, 09 Oktober 2010

Teori Pers di Indonesia

1. Teori Pers Otoritarian

Teori ini muncul pada abad 16-17, setelah ditemukannya mesin cetak, tepatnya pada jaman Renaissance. Pada jaman itu, pemerintah Eropa menggunakan sisetm pemerintahan secara monarki absolut. Isi teori ini adalah kebenaran bukan hasil kerja dari rakyat, melainkan pemikiran orang-orang yang berpendidikan dan berkedudukan, dimana orang-orang inilah yang nantinya akan memimpin dan mengarahkan kemana rakyat tersebut berada. Sehingga pada jaman ini fungsi pers bertindak secara vertikal searah, yaitu dari atas ke bawah. Sistem seperti ini pernah terjadi di Indonesia, yaitu pada jaman Orde Baru, pada kepemimpinan Presiden Soeharto. Seperti yang telah kita ketahui, pemerintah seolah-olah menyetujui adanya kebebasan mengeluarkan pendapat melalui media, akan tetapi kebebasan tersebut harus bertanggung jawab. Akan tetapi pada kenyataannya, pemerintah sendiri mengeluarkan maklumat bahwa pers membutuhkan SIUPP, SIT dan sebagainya. Ditambah lagi dengan pengawasan ketat terhadap pers yang tidak boleh menulis hal negatif sedikit pun mengenai pemerintah.

2. Teori Pers Libertarian

Teori ini berada pada posisi yang kontradiktif dengan Teori Pers Otoritarian. Pada teori ini, individu adalah seseorang yang mampu membedakan yang benar dan salah serta hal baik dan buruk. Teori ini memilih pers sebagai instrumen yang utama dalam penyampaian kebenaran, karena pers membantu sesosok individu tersebut dalam memperoleh hak yang ia miliki. Pers sangat bebas dari campur tangan pemerintah, karena pers mengutamakan kebenaran, maka memunculkan kebenaran tersebut dilakukan dengan cara mendengarkan semua pendapat, baik dari pihak masyarakat, maupun dari pihak pemerintah. Keduanya memiliki kekuatan yang sama besar, sehingga arus pendapat dan informasi tetap dapat berjalan dengan lancar. Harapannya adalah pemerintah mau mendengarkan aspirasi masyarakat dan tidak melulu mengutamakan kepentingnnya. Teori pers ini dapat kita temukan di negara non-komunis.

3. Teori Pers Komunis

Awal mula munculnya teori ini adalah pada saat runtuhnya kekaisaran Uni Soviet dan munculnya Teori Sosialisme Karl Marx. Bagi negara komunis, kekuasaan itu bersifat sosial, berada di antara masyarakat-masyarakat dalam suatu negara, bersifat tersembunyi dalam sebuah lembaga sosial dan memiliki tindakan atau kegiatan yang jelas dan tegas. Menurut para penganut komunis, sebuah kekuasaan akan mudah diperoleh apabila kekuasaan tersebut digabungkan dengan sumber daya manusia dengan tingkat produksi dan distribusi yang kondusif, serta terdapat pengarahan yang baik dari pemerintah. Partai Komunis memiliki kekuatan untuk melakukan hal ini, karena kekuatan mereka termobilisir. Mereka sendiri menganggap bahwa diri mereka adalah doktrin dasar. Segala sesuatu yang terjadi di Soviet ataupun negara komunis lainnya memiliki sifat paksaan. Dalam mengatur dan mengendalikan masyarakatnya, pemerintah justru mengajak pers untuk memegang posisi sebagai agitator dan propagandis, cara ini sering kita dengar dalam proses komunikasi massa. Dengan demikian maka tidak ada kritik terhadap sebuah partai karena sudah disensor sebelumnya.

4. Teori Pers Tanggung Jawab Sosial

Berangkat dari nama teori ini sendiri yang memiliki arti bahwa pers memiliki kebebasan, namun kebebasan tersebut tentunya harus kebebasan yang dapat dipertanggung jawabkan. Dalam hal ini, pers berhak untuk berdiri sendiri, lepas dari pemerintah, namun harus bertindak sesuai dengan kode etik pers. Teori ini muncul sebagai perkembangan dari Teori Pers Libertarian, karena masyarakat menganggap bahwa teori tersebut telah banyak membohongi mereka. Pers harus memiliki self-control terhadap diri mereka sendiri, karena ketidakjelasan harus dihindari oleh mereka, kalaupun nanti terdapat hal yang bias, maka pers harus mampu dan mau meluruskan hal tersebut secara objektif, tanpa memihak maupun menempatkan diri dalam kepentingan golongan.

Sumber:

http://oliviadwiayu.wordpress.com/2007/01/05/empat-teori-pers/

http://www.scribd.com/doc/24746954/Sistem-Pers-Indonesia

08102010

Sebagai calon jurnalis, sudah seharusnya gw belajar dari jurnalis senior. Kesempatan itu gw dapet dari Pak Har [waa..bikin tambah ngefans aja Pak]. Beliau menginginkan anak muridnya untuk mencari tahu lebih dalam mengenai sejarah jurnalistik, berdasarkan undian yang diambil, kelompok gw dapet Endy Bayuni. Beliau adalah mantan pemred Jakarta Post.

1 Kelompok isinya 4 orang, dan dari situ gw kenal sama Pandji. Haha..seru juga anaknya. Padahal sebelomnya gw kira dia cuma anak nakal yang doyan nongkrong n ngerokok ma temen-temennya. Do nothing, ternyata..dia jago banget dalam nulis. Keren. Malah jadi ngefans. [nji, sori nama lo gw ungkit-ungkit] sekali lagi disini gw belajar, don't judge a book by it's cover.

Ga tau kenapa, tapi kayaknya Pak Har curang, karena temen-temen gw yang lain dapet nomer HP si wartawan senior, tapi kelompok gw cuma dapet nomer kantornya doang. Ga tau gimana cara nya, si Pandji berhasil "menggoda" Pak har dan mendapatkan nomor HP nya...

waa...dan tugas pun dimulai
Beliau meminta kami untuk membuat TOR (Terms of Refference) dan hari pertemuan kami pun dijadwalkan pada 8 Oktober pukul 15.00

Berangkat dari Serpong dengan menggunakan kereta ekonomi seharga 1.500 rupiah. Turun di Palmerah, dan dilanjutkan dengan jalan kaki. Informasi yang kami dapat, Jakarta Post terletak di sebrang gedung Kompas Gramedia. Tidak banyak orang yang mengetahui Jakarta Post, kami pun bertanya dimana letak gedung Kompas. Sayangnya, gedung Kompas yang ditunjukan bukanlah yang dimaksud.

Akhirnya, berdasarkan petunjuk Satpam Bentara Budaya, kami sampai di tempat yang dituju. Seperti biasa, orang pertama yang harus ditemui saat berkunjung ke sebuah perusahaan adalah resepsionis. Karena beliau tidak kunjung datang, gw pun menghubungi beliau langsung by sms dan beliau mengatakan akan menjemput kami di lobi.

Kami diterima beliau di ruang rapat redaksi. Saat baru datang, beliau menawarkan kami minuman, kopi atau teh. Dan gw [pasti] milih kopi. Perbincangan kami pun berlanjut ke TOR yang sudah pernah kami kirimkan by mail.

Sungguh pengalaman yang menyenangkan dan menegangkan. Senang rasanya bisa berbincang banyak dengan beliau. Tidak selalu serius, namun diselingi dengan canda tawa. Banyak yang bisa gw pelajarin hari ini.

Mulai dari cara membaca Reuters dengan benar, sampai seluk beluk dunia jurnalistik. Beruntung sekali bisa bertemu dengan beliau. Tidak bosan-bosannya aku mengucpkan hal tersebut. Beliau pun lebih sering berkecimpung di laur negri sana, sehingga Indonesia tidak banyak yang mengenal beliau kecuali orang-orang tertentu saja.

Terima kasih Pak Har untuk tugas ini
Terima kasih Pak Endy sudah mau menerima kami dan menjawab keingintahuan kami
Terima kasih Cynthia, Orpa dan Pandji untuk suka dukanya di wawancara ini
dan terakhir, terimakasih kereta Ekonomi dan Ekonomi AC jurusan Serpong-Tanah Abang dan sebaliknya, yang sudah menghantarkan kami