Jumat, 03 September 2010

Kursi Itu …


Menjadi seorang pemimpin mungkin bukan impian setiap orang. Berbeda dengan diriku yang sangat tertarik dan senang berada di posisi tersebut. Mungkin karena aku cucu pertama dari keluarga Ayah dan juga anak pertama dari 4 bersaudara yang semuanya adalah perempuan. Bukan sebuah beban bagi diriku menjadi panutan dan secara tidak langsung aku adalah point of interest bagi mereka yang mengenalku dan melihatku. Kedua orang tuaku sangat bangga kepadaku, ada pancaran tersendiri yang keluar dari diri mereka ketika kami sekeluarga mengunjungi sanak saudara kami.

Berada di tempat ini mungkin pernah menjadi mimpi sebagian besar orang yang memiliki bahasa gaul 'eksis'. Ketua OSIS identik dengan seseorang yang indah secara fisik, mudah bergaul dan didukung juga dengan kondisi keuangan dan otak yang memadai. Pada tingkat pertama aku mengenyam pendidikan disana, aku mencalonkan diri, dan aku gagal menduduki kursi pertama tersebut. Aku memang sempat mengurungkan niatku untuk mencalonkan diri, tetapi hati kecilku berkata untuk tetap maju, karena aku bukan tipe orang yang bisa menerima kekalahan, tetapi aku berhasil menjadi tangan kanan kedua pemilik kursi pertama.

Di tingkat kedua pendidikanku, aku kembali mencalonkan diriku untuk mendapatkan kursi tersebut. Pada tahap ini, aku merasa aku sudah cukup berpengalaman dalam berorganisasi dan sudah banyak juga orang yang mengenalku karena aku sudah mulai eksis di mata mereka. Kampanye pun dilakukan, potret diriku dan pasanganku tersebar dalam bentuk karikatur buatan pasanganku. Poster dan selebaran yang dibagikan secara cuma-cuma itu untuk mendukung keberhasilanku dalam memperoleh kursi impianku.

Dan sekarang pun tiba saatnya aku harus mengeluarkan senjata terakhirku. Naik ke atas podium, menyampaikan visi, misi serta rancangan kerjaku dalam periode 1 tahun ke depan dan menyerukan nomor urut serta namaku dan pasanganku berulang kali agar mereka memilihku. Agaknya sainganku cukup berat, dari 5 nama calon di awal, tersisa 2 calon dan panitia harus mengadakan pemungutan suara ulang untuk memperoleh hasil akhir. Aku mengharap dengan sangat agar kursi itu jatuh ke tanganku.

Turus demi turus yang digoreskan ke papan putih itu terus menunjukan perbedaan yang cukup jauh dan signifikan. Entah aku harus merasa sedih atau senang dengan keadaan ini, kedua emosi itu bercampur jadi satu. Ternyata, panitia sudah memegang kertas hasil yang terakhir dan nama itu pun keluar dari bibir sang pembawa acara, dan aku hanya sanggup tersentak dengan pandangan kosong hampir tak sadarkan diri.